Tampilkan postingan dengan label k3. Tampilkan semua postingan
Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Semua Sektor
Minggu, 13 Desember 2015
Posted by Unknown
Tag :
k3
Seperti tercantum pada Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Paragraf 5 Pasal
87 Butir (1) tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, setiap perusahaan
wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Peraturan ini pun diperkuat oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Bagian
Keenam tentang Kesehatan Kerja. Terakhir, ada pula PP nomor 50 tahun
2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Oleh
karenanya, dari ketiga peraturan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap
perusahaan, industri, maupun tempat kerja lain wajib menunjang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) para pekerjanya.
Menyadari kewajiban tersebut, Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero
Asia pun memiliki dan menerapkan standar keselamatan bagi pekerjanya.
Dalam setahun terakhir, seperti diungkapkan Umar Fauzi, Manajer K3 GMF
Aero Asia, K3 di GMF AeroAsia mengalami perkembangan cukup signifikan.
“Sebelumnya, K3 belum menjadi perhatian bagi jajaran direksi. Namun
setahun terakhir, K3 GMF Aero Asia dinaikkan levelnya dari level manajer
menjadi level general manajer,” jelasnya.
Memperhatikan Hal Standar
Hal standar yang harus diperhatikan dalam proses operasional menurut
Umar adalah penggunaan Alat Proteksi Diri (APD). Misalnya saja pemakaian
safety belt saat berada di ketinggian serta pemakaian masker
saat berada di tempat berdebu. Oleh karenanya, peralatan yang digunakan
pun juga harus memenuhi standar yang sesuai dengan persyaratan
kesehatan. “Sebab, keselamatan pekerja adalah hal yang paling utama,”
tegas Umar.
Berbeda jenis industri dengan GMF Aero Asia, Mohammad Nur Azan menyatakan bahwa sebagai salah satu perusahaan oil and gas,
Halliburton memiliki standarnya sendiri dalam hal K3. “Kami memiliki
Halliburton standar global dalam hal K3. Pun ada beberapa tambahan
standar yang bersifat lokal sesuai dengan karakter wilayah
masing-masing,” ungkap HSE Country Manager Halliburton Indonesia ini.
Oleh karenanya, tiap anak cabang Halliburton memiliki koordinator HSE
untuk mengimplementasi dan mengontrol proses tersebut.
Aan, sapannya, menjelaskan bahwa meski semua karyawan dibekali oleh
APD, diakuinya ada perbedaan antara mereka yang bekerja di lapangan dan
kantor. “Hal ini semata-mata karena risiko kecelakaan kerja yang
berbeda. Maka dari itu, APD yang diberikan pun berbeda. Begitu pula
dengan mereka yang bekerja di laboratorium, fasilitas APD-nya pun
berbeda,” terangnya.
Perbedaan APD ini salah satunya terlihat dari pemakaian sarung tangan (glove). Aan menjelaskan bahwa jenis sarung tangan yang digunakan berbeda untuk masing-masing area kerja. Pekerjaan umum seperti house keeping biasanya menggunakan sarung tangan katun. Sedangkan pekerja di lokasi disediakan sarung tangan high impact dan medium impact untuk mengurangi risiko kecelakaan.
Begitu pula dengan sarung tangan khusus laboratorium yang digunakan oleh pekerja laboratorium, serta sarung tangan kevlar
untuk mereka yang bekerja di tempat bertemperatur tinggi. “Ini
semua dilakukan untuk melindungi karyawan. Sebab, prinsipnya karyawan
berangkat dari dan pulang ke rumah itu selamat,” tegasnya.
Itulah sekilas mengenai implementasi K3 yang telah dilakukan oleh
beberapa perusahaan. Semoga informasi ini bisa memberikan pemahaman akan
pentingnya K3 di tiap sektor pekerjaan yang Anda lakukan. Tetap sehat
dan selamat! [CN/DIAN/RIFKI/VIN/DIMAS]^^
A.
PENDAHULUAN
Ergonomik berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Ergon dan Nomos. Ergon
memiliki arti kerja dan Nomos memiliki arti hukum; jadi pengertian
Ergonomik itu sendiri secara garis besar adalah “Studi tentang manusia untuk
menciptakan system kerja yang lebih sehat, aman dan nyaman” (Arif, 2009).
Konsep ergonomi serta keselamatan kesehatan kerja merupakan konsep penting
untuk diterapkan dalam suatu industri, khususnya dalam perancangan stasiun
kerjanya. Kecenderungan yang ada saat ini adalah, pada industri skala kecil
menengah. Konsep tersebut kurang begitu diperhatikan, sehingga dapat
menimbulkan resiko kerja baik dari segi bahaya kondisi lingkungan fisik, sikap
dan cara kerja (Laksmiwaty, 2009).
Tujuan penerapan ergonomi adalah untuk peningkatan kualitas kehidupan yang
lebih baik. Dengan penerapan ergonomi ini, maka akan tercipta lingkungan kerja
aman, sehat dan nyaman sehingga kerja menjadi lebih produktif dan efisien serta
adanya jaminan kualitas kerja (Tim Ergoinstitute, 2008).
Perkembangan teknologi saat ini begitu pesatnya, sehingga peralatan sudah
menjadi kebutuhan pokok pada berbagai lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan
teknologi merupakan penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan
produktivitas untuk berbagai jenis pekerjaan. Disamping itu disisi lain akan
terjadi dampak negatifnya, bila kita kurang waspada menghadapi bahaya potensial
yang mungkin timbul.
Hal ini tidak akan terjadi jika dapat diantisipasi
pelbagai risiko yang mempengaruhi kehidupan para pekerja. Pelbagai risiko
tersebut adalah kemungkinan terjadinya Penyakit Akibat Kerja, Penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan dan Kecelakaan Akibat Kerja yang dapat menyebabkan
kecacatan atau kematian. Antisipasi ini harus dilakukan oleh semua pihak
dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja.
Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomik.
Bekerja dengan tubuh dan lingkungan yang sehat, aman serta nyaman merupaka hal
yang diinginkan oleh semua pekerja. Di era globalisasi menunutu pelaksanaan
Kesehatan dan Keselamaan Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sector
kesehatan. Untuk itu perlu kita mengembangkan dan mingkatkan K3 di sector
kesehatan dalam rangka menekan serendah mingki risiko kecelakaan dan
penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas
dan efisiensi.
B. ISI
1.
Ergonomik
Ergonomi adalah suatu cabang
ilmu yang memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan
keterbatasan manusia dalam rangka membuat sistem kerja yang ENASE
(efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien). Ergonomi dan K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.Keduanya
mengarah kepada tujuan yang sama yakni peningkatan kualitas kehidupan kerja
(quality of working life). Aspek kualitas kehidupan kerja merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi rasa kepercayaan dan rasa kepemilikan pekerja
kepada perusahaan, yang berujung kepada produktivitas dan kualitas kerja (Arif,
2009).
Keselamatan berasal dari bahasa Inggris yaitu kata
“safety” dan bisanya selalu dikaitkan dengan
keadaan terbebasnya seseorang dari peristiwa celaka (accident) atau nyaris
celaka (near miss). Jadi pada hakekatnya keselamatan sebagai suatu pendekatan
keilmuan maupun sebagai suatu pendekatan praktis mempelajari factor-faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berupaya mengembangkan berbagai
cara dan pendekatan untuk memperkecil resiko terjadinta kecelakaan. Dalam
mempelajari factor-faktor yang dapat menyebabkan manusia mengalami kecelakaan
inilah berkembang berbagai konsep dan teori tentang kecelakaan (accident
theories). Teori tersebut umumnya ada yang memusatkan perhatiannya pada factor
penyebab yang ada pada pekerjaan atau cara kerja, ada yang lebih memperhatikan
factor penyebab pada peralatan kerja bahkan ada pula yang memusatkan
perhatiannya pada factor penyebab pada perilaku manusia (Alamsyah, 2004).
2.
Kesehatan
Kesehatan berasal dari bahasa Inggris “health”, yang dewasa ini
tidak hanya berarti terbebasnya seseorang dari penyakit, tetapi
pengertian sehat mempunyai makna sehat secara fisik, mental dan juga sehat
secara social. Dengan demikiana pengertian sehat secara utuh menunjukkan
pengertian sejahtera (well-being). Kesehatan sebagai suatu pendekatan keilmuan
maupun pendekatan praktis juga berupaya mempelajari factor-faktor yang dapat
menyebabkan manusia menderita sakit dan sekaligus berupaya untuk mengembangkan
berbagai cara atau pendekatan untuk mencegah agar manusia tidak menderita
sakit, bahkan lebih sehat (Sum’mamur, 1987).
Sebagaimana kita ketahui bahwa umumnya manusia selalu mempunyai pekerjaan
(work occupation) dan sebagian besar waktunya berada dalam situasi bekerja
sehingga dapat terjadi manusia akan menderita penyakit yang mungkin disebabkan
oleh pekerjaannya atau menderita penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Karena alas an tersebut berkembang ilmu yang dikenal dengan kesehatan kerja
(occupational health). Kesehatan kerja di samping mempelajari factor-faktor
pada pekerjaan yang dapat mengakibatkan manusia menderita penyakit akibat
(occupational disease) maupun penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya
(work related disease) juga berupaya untuk mengembangkan berbagai cara atau
pendekatan untuk pencegahannya, bahkan berupaya juga dalam meningkatkan
kesehatan (healt promotion) pada manusia pekerja tersebut (Alamsyah, 2004).
Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa keselamatan dan kesehatan kerja
pada hakekatnya merupakan suatu pendekatan ilmiah dan sekaligus merupakan suatu
program. Keselamatan dan kesehatan kerja sebagai suatu program didasari
pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau memperkecil terjadinya bahaya
(hazard) dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan kecelakaan, maupun
kerugiankerugian lainnya yang mungkin terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa
keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pendekatan ilmiah dan praktis
dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko kesehatan adan keselamatan yang
mungkin terjadi. Kata lain hakekat dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah
tidan berbeda dengan pengertian bagaimana kita mengendalikan risiko (risk
management) agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan (Sum’mamur, 1987).
3.
Keselamatan
Keselamatan dan kesehatan kerja mempunyai tujuan untuk memperkecil/
menghilangkan potensi bahaya/ risiko yang dapat mengakibatkan kesakitan dan
kecelakaan dan kerugian yang mungkin terjadi. Untuk memahami penyebab dan
terjadinya sakit dan celaka, terlabih dahulu perlu dipahami potensi bahaya
(hazard) yang ada, kemudian perlu mengenali (identity) potensi bahaya tadi,
keberadaannya, jenisnya, pola interaskinya dan seterusnya. Setelah itu perlu
dilakukan penilaian (asses, evaluate) bagaimana bahaya tadi dapat menyebabkan
risiko (risk) sakit dan celaka dan dilanjutkan dengan menentukan berbagai cara
(control, manage) untuk mengendalikan atau mengatasinya (Tresnaningsih,
2007).
Pencapaian kinerja manajemen K3 sangat tergantung kepada sejauh mana faktor
ergonomi telah terperhatikan di perusahaan tersebut. Kenyataannya,
kecelakaan kerja masih terjadi di berbagai perusahaan yang secara administratif
telah lulus (comply) audit sistem manajemen K3. Ada ungkapan bahwa
“without ergonomics, safety management is not enough”. Keluhan yang berhubungan
dengan penurunan kemampuan kerja (work capability) berupa kelainan pada sistem
otot-rangka (musculoskeletal disorders) misalnya, seolah-olah luput dari
mekanisme dan sistem audit K3 yang ada pada umumnya. Padahal data
menunjukkan kompensasi biaya langsung akibat kelainan ini (overexertion)
menempati rangking pertama (sekitar 30%) dibandingkan dengan bentuk kecelakaan-kecelakaan
kerja yang lain (Yanri, 2009).
Kondisi berikut menunjukkan beberapa tanda-tanda suatu sistem kerja yang
tidak ergonomik:
- Hasil kerja (kualitas dan kuantitas) yang tidak memuaskan
- Sering terjadi kecelakaan kerja atau kejadian yang hampir berupa kecelakaan
- Pekerja sering melakukan kesalahan (human error)
- Pekerja mengeluhkan adanya nyeri atau sakit pada leher, bahu, punggung, atau pinggang
- Alat kerja atau mesin yang tidak sesuai dengan karakteristik fisik pekerja
- Pekerja terlalu cepat lelah dan butuh istirahat yang panjang
- Postur kerja yang buruk, misalnya sering membungkuk, menjangkau, atau jongkok
- Lingkungan kerja yang tidak teratur, bising, pengap, atau redup
- Pekerja mengeluhkan beban kerja (fisik dan mental) yang berlebihan
- Komitmen kerja yang rendah
- Rendahnya partisipasi pekerja dalam sistem sumbang saran atau hilangnya sikap kepedulian terhadap pekerjaan bahkan keapatisan
Dengan ergonomi, sistem-sistem kerja dalam semua lini departemen dirancang
sedemikian rupa memperhatikan variasi pekerja dalam hal kemampuan dan
keterbatasan (fisik, psikis, dan sosio-teknis) dengan pendekatan human-centered
design (HCD). Konsep evaluasi dan perancangan ergonomi adalah dengan
memastikan bahwa tuntutan beban kerja haruslah dibawah kemampuan rata-rata
pekerja (task demand < work capacity). Dengan inilah diperoleh
rancangan sistem kerja yang produktif, aman, sehat, dan juga nyaman bagi
pekerja (Laksmiwaty, 2009).
C. PENUTUP
Kemampuan manusia dalam
melakukan aktivitas tidak hanya dibatasi oleh produktivitas yang tinggi. Hal
terpenting yang harus diperhatikan adalah keamanan, kenyamanan, efisiensi
kerja, dan yang terutama adalah kesehatan. Dalam melakukan aktivitasnya kesehatan
fisik merupakan modal utama dalam pencapaian produktivitas kerja. Suatu lahan
pekerjaan hendaknya memiliki peraturan yang tidak hanya menguntungkan
perusahaan namun kondisi pekerjaannya juga.
Suatu program kerja perusahaan yang baik akan membawa dampak optimal bagi
kemampuan atau kebolehan pencapaian kerja yang maksimal, namun tetap
memperhatikan batasan manusia. Konseptual atau system yang dinamis akan
terlihat dari cara kerja pekerja. System ini akan dinamis apabila ditunjang
dengan kondisi fisik pekerja yang baik.
Kecelakaan kerja dapat dihindari dengan melakukan pendekatan yang sifatnya
kuratif dengan jalan membatasi waktu dan beban kerja. Waktu optimal setiap
manusia bekerja umumnya tidak lebih dari 8 jam. Namun, ada beberapa lembaga
yang mewajibkan pekerjanya bekerja lebih dari 8 jam. Hal ini dapat diantisipasi
dengan jalan member gaji tambahan per jamnya.
Kesehatan fisik umumnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja. antara 24-270C,
sirkulasi udara yang baik, pencahayaan yang baik, ketenangan lingkungan,
getaran mekanis, warna, dan bebauan. Adapun permasalahan lingkungan yang timbul
antara lain ketidakserasian kerja antara manusia dan lingkungan, adaptasi, dan
tidak tersedianya alaat bantu untuk keserasian tersebut.
Untuk menghindari hal tersebut diatas, maka suatu lembaga yang mengandalkan
pekerja manusia perlu memperhatikan segala bentuk aspek lingkungan. Aspek
tersebut meliputi interior dan eksterior. Interior maksudnya kondisi dalam
ruangan yang tertata atau tersusun tepat pada posisinya, contohnya letak berkas
yang tidak terlalu jauh dengan posisi pekerja dan letak mesin dengan frekuensi
kebisingan yang tinggi jauh dari pekerja. Eksterior maksudnya adalah kemampuan
lembaga memposisikan wilayah strategis untuk memanjakan pekerja. Contonya,
dengan menempatkan kolam pancur dan taman di depan maupun di belakang gedung.
Selain kondisi lingkungan hal terpenting yang harus diperhatikan adalah
pekerja itu sendiri. Artinya, pekerja harus mampu mengatur jeda kerja dan
staminanya dengan jalan menghindari dehidrasi, emisi, dan hal lain yang dapat
mengganggu kondisi fisik pekerja.
Sosialisasi kerja pada dasarnya merupakan bagian terpenting yang menentukan
kualitas kerja dan fisik pekerja. Hal ini perlu dilakukan untuk
menghindari kebosanan kelelahan fisik, kecelakaan, dan penyakit yang akan
menimbulkan performance kerja yang rendah.
Bekerja merupakan upaya nyata manusia dalam memenuhi kehidupan ekonomi pribadi
maupun keluarga. Pengembangan IPTEK juga berpengaruh dalam menentukan kualitas
hidup, namun dengan syarat menetapkan teknologi tepat guna. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam menempatkan teknologi tepat guna diantaranya
secara teknis, ekonomis, ergonomis, lestari lingkungan, hemat energy, dan
social budaya.
Kesehatan kerja akan tercapai apabila pekerja menganggap dirinya berkompetensi
dibandingkan pekerja lain. Kompetisi globalisasi harus dihadapi dengan
kepercayaan diri yang tinggi dengan berfikir memenangkan persaingan. Seorang
pekerja akan dianggap dapat memenangkan suatu kompetisi dengan cara dengan
menekan biaya dan meningkatkan produktivitas.
Dari hal tersebut diatas, ergonomic akan tercapai apabila kondisi fisik pekerja
juga dalam kondisi optimal. Setiap pekerja akan mencapai kesehatan fisik
optimal apabila memperhatikan tingkat konsumsi gizi, pemberdayaan tenaga yang
baik, sikap tubuh yang baik, dan efisisensi waktu. Pekerja harus memahami
berapa takaran energy yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut.
Energy atau gizi tersebut meliputi jumlah, kualitas, frekuensi, selera,
kebiasaan, kemampuan, dan variasi.
D. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Undang-Undang
Republik Indonensia No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja . online.
2004. Available from url: www.nakertrans.go.id.
Arif, C. 2009. Aspek Ergonomik
di Bidang Kedokteran Gigi. Universitas Padjajaran. Bandung [Makalah].
Laksmiwaty, P. 2009. Penerapan
Ergonomi dan Keselamatan Kesehatan Kerja
untuk Desain Stasiun Kerja dan Perilaku Pekerja (Studi Kasus: Industri
Furniture Kayu Sari Tanah Karo
Malang). Surabaya [Thesis].
Suma’mur. Keselamatan Kerja
dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987. P. 65-72.
Tim Ergoinstitute. 2008. Kisah
Sukses Penerapan Ergonomi. Ergo News. Edisi 3. Juni 2008. Bandung.
Tresnaningsih E. Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan. Online. 2007. Available from
url: www.depkes.go.id.
Sumber: WISATA TAMBANG